“Semua akan kembali seperti semula.”
Itu adalah ucapmu yang terakhir kudengar
Ya… Semua kembali seperti semula
Ketika kita tidak saling kenal
Aku membisu
Apakah itu sebuah janji?
Atau salam perpisahan?
Begitu halus pada pilu
Sehembus nafas yang hilang
Bagiku, kamu adalah sehembus nafasku
Hilang
Terenggut
Tidak… Aku tidak ingin mengingatmu
Seperti sembilu yang terus menghunjam dadaku
Sesak
Semakin kuat berontak, semakin kencang ingatan tentangmu
Aku lelah
Seseorang pernah meminangku, berkata “Akan kutemani setiap perjalanan pulangmu.”
Aku berlagak menjadi Tuhan, menghidupkan sosokmu dalam jasadnya
Ingatanku bergentayangan akan ruhmu yang menjadi puisi
“Jangan pernah meminta cintaku yang telah terenggut bersama sehembus nafasku.” Pintaku padanya
Lupa merasuki ingatannya
Dia tidak lagi menemaniku dalam setiap perjalanan pulang
Aku kembali memeluk lukaku sendiri
Tidak, aku tidak sakit olehnya
Menepis kenangan dirimu, membuat raga ini gigil
Sudah September yang kesekian
Tahun, Bulan, Minggu, Hari, Jam hingga Detik
Dan tak pernah bisa melupakanmu
Derai tangisku begitu menggelegar dalam hati, tak adakah yang mendengar?
Telah kugadaikan cintaku padamu
Telah kuceraikan jiwaku demi dirimu
Aku hanya raga yang menjalankan nasib
Berharap bahagiamu di sana abadi
Agar tenang raga ini menjalankan sisa nasib
Pasrahku pada alam yang terus bersinergi memberikan penghidupan padaku
Selalu kusebut namamu dalam doaku
Sepertinya, Tuhan tidak mau bernegosiasi denganku
Tuhan, lupakah Engkau?
Aku hanya perempuan biasa yang ingin mencintai dan dicintai
Boleh aku bilang lelah kali ini?
Aku lelah menanti
Aku lelah pada kenangan yang terus membayangiku
Tuhan, bolehkah aku mencintai diriku sendiri?
Aku ingin bernafas yang tidak lagi sesak
Aku ingin menebus cintaku
Aku ingin rukun dengan jiwaku
Tuhan beserta alam, dalam sakralMu
Januari kesekian
~De Javu~
Sembah syukurku tak pernah putus